Karno B. Batiran
Kami tiba di negeri indah itu pada suatu siang cerah yang sejuk awal November. Hujan yang tidak begitu deras tampaknya baru saja mengguyur lembah Baliem. Tidak ada taksi sedan yang menjemput penumpang-penumpang yang baru tiba di bandara. Yang ada hanya becak-becak tua yang dikayuh oleh manusia-manusia berkulit gelap dan keriting lalu lalang di jalan beraspal depan bandara, dan jajaran mobil-mobil pelat merah Mitsubishi Estrada di pelataran parkir bandara Wamena yang menunggu menjemput para pejabat daerah yang akan tiba. Saya dan enam orang teman dijemput oleh sebuah mobil Suzuki Carry tua setelah 45 menit berada di atas pesawat twin otter (jenis pesawat komersil berbadan kecil produksi Kanada yang banyak dioperasikan di kawasan timur Indonesia yang memiliki fasilitas landasan bandara yang sangat minim) milik maskapai penerbangan Trigana Air yang membawa kami dari bandara Sentani Jayapura. Kami berada di Jayawijaya (Wamena Kota dan beberapa dsitrik di pedalaman terpencil) selama kurang lebih satu bulan untuk mempelajari bagaimana, sistem pelayanan kesehatan disana.
Segera setelah tiba, menginjakkan kaki dan sejenak berkeliling di daerah ini hawa dan suasana ketertinggalan menyeruak langsung ke benak saya. Kami berada di sebuah ibukota kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah, jantung pulau Papua, Wamena kabupaten Jayawijaya, tapi berasa 30 (tiga puluh) tahun ke belakang, jauh tertinggal dari sebuah ibukota kecamatan di Jawa atau Sulawesi Selatan, semisal Cabenge di Soppeng atau Wonomulyo di Polewali Mandar. Tidak banyak deretan pertokoan-pertokoan beton, angkot-angkot yang hilir mudik mengantar penumpang juga tidak ramai.
Sebelum memutuskan untuk datang ke Wamena ini, kami mencoba mengumpulkan informasi, baik dari teman yang sudah pernah sebelumnya datang ke Wamena maupun browsing di internet. Namun semua yang kami dapatkan adalah berita-berita muram yang mungkin bisa menyurutkan niat, mulai dari berbagai macam penyakit (Papua merupakan daerah endemik malaria, juga merupakan salah satu provinsi dengan pengidap HIV/AIDS tertinggi setelah Jakarta) sampai harga barang-barang kebutuhan pokok yang bisa berlipat-lipat dari harga ditempat lain, ini disebabkan karena semua barang-barang yang masuk ke Wamena harus diangkut lewat udara dengan pesawat, tidak ada jalan darat yang menghubungkan Jayawijaya dengan wilayah pesisir Papua seperti Jayapura, Timika atau Merauke.
Kota Wamena tidak begitu luas, hari ketujuh kami berada disana saya sempat berjalan kaki memotong kota tersebut yang saya tempuh hanya sekitar 20 menit menyusuri jalan raya yang menghubungkan ujung bagian Barat dengan bagian Timur kota. Kali lain saya mencoba berjalan kaki dari Utara ke Selatan kota yang hanya berjarak kurang lebih 15 menit berjalan kaki.
Sulit bagi saya untuk tidak merasa miris melihat kesenjangan sosial yang sangat kentara, di pinggir-pinggir jalan raya (yang lebih sering becek diguyur hujan yang frekuensinya sangat tinggi di daerah ini, lebih dari sekitar 270 hari hujan dalam setahun) dan di depan kios-kios pasar, ibu-ibu Papua menggelar tikar seadanya menjual pinang, sayur mayur (kebanyakan daun ubi jalar) atau sekedar menjual kayu bakar. Sementara di dalam kios-kios dan toko-toko di komplek pasar duduk-duduk tenang manusia-manusia pendatang (Sebagian besar pendatang dari Sulawesi Selatan: Soppeng, Enrekang, Palopo, Wajo, dll) tidak perlu pusing-pusing tersengat matahari siang atau lari terbirit-birit saat hujan.
Atau mobil-mobil pejabat berpelat merah (selain orang-orang asli Jayawijaya yang telah lebih dulu mengecap pendidikan, para pejabat di Jayawijaya sebagian, dengan jumlah yang cukup signifikan, adalah pendatang-pendatang dari Jawa, Batak dan Toraja) yang membunyikan klakson keras-keras karena merasa jalannya terhalangi oleh ibu-ibu pedagang di pinggir jalan tersebut, yang sekedar berjuang mencari makan.
Atau melihat para polisi lalu lintas berkulit lebih terang yang menggertak dan menendangi (tanpa bicara baik-baik sebelumnya) becak para tukang becak hitam keriting lantaran becaknya parkir di bahu jalan dan dianggap menghalangi jalan. Hampir setiap ke pasar saya melihat pemandangan ini di pasar Misi Wamena
Di Wamena Kota dengan mudah ditemui manusia-manusia asli Papua berkoteka berlalu lalang di jalan-jalan raya, dipinggir-pinggir kota masih banyak honai-honai, rumah asli Papua tempat tinggal penduduk, yang bagi orang-orang kota modern dianggap eksotis yang sangat menyenangkan untuk jadi bahan pertunjukan dan tontonan demi memuaskan hasrat hiburan mereka, bak seekor gajah yang berdiri mengangkat kedua kaki atau harimau yang melompati lingkaran api, atau perempuan-perempuan lentur meloncat kesana kemari dalam sebuah pertunjukan sirkus. Sungguh menghibur kesepian mereka. Wamena juga terkenal dengan ’eksotisme’ koteka dan perang sukunya.
Pada masa-masa awal daerah ini dijamah oleh pemerintah Belanda, pertengahan dekade 50-an, Wamena (lembah Baliem) adalah semacam tempat peristirahatan manusia-manusia dari kota, menjadi salah satu daerah new Netherlands bagi para orang-orang belanda yang mungkin sudah bosan di negerinya yang empat musim. Atau mencari wilayah koloni baru kemudian beranak-pinak dan mengusainya seperti yang dilakukan sesamanya bangsa penjajah, Inggris, yang menguasai Amerika Utara dan Australia dan menyisihkan penduduk aslinya dengan berbagai cara bahkan dengan membantai penduduk aslinya. Negeri ini memang sangat nyaman sebagai peristirahatan dengan udara yang sejuk serta bentangan lansekap lembah baliem dan pegunungan Jayawijaya yang indah (pegunungan ini juga sangat terkenal dengan Puncak Jayanya yang menyimpan salju abadi).
Tidak jauh berbeda dengan Belanda, Indonesia juga kemudian datang ke, lebih tepatnya merebut, Papua dan lanjut menjajahnya. Tidak banyak kemajuan yang dialami Papua sejak bergabung dengan Indonesia paska referendum tahun 1969, menurut banyak kalangan referendum ini adalah bentuk kompromi politik ekonomi Negara rakus Amerika dan Belanda yang melihat banyak potensi sumber daya alam (emas, tembaga, minyak bumi, dll) yang ada di Papua. Selama hampir 40 tahun bergabung dengan Indonesia justeru orang Papua semakin bodoh dan semakin miskin (dimiskinkan) (@).