Tuesday, July 26, 2011

::Ambo Rappe dan Rezim Paten: Apa Salahnya ‘Mencuri-curi’ Ilmu?::

Ambo Rappe dan Rezim Paten: Apa Salahnya ‘Mencuri-curi’ Ilmu?

Karno B. Batiran

DIA, Ambo Rappe (38), diam-diam mencuri-curi ilmu, yakni teknik tanam SRI, yang diterjemahkan ke dalam bahasa setempat oleh petani-petani Tompobulu dengan nama a’lamung tasserre’se’re (tanam satu-satu).

Tapi jangan resah dulu, kawan petani satu ini beruntung. Kasusnya tidak seperti kasus tragis teman petani kita Pak Tukirin, petani jagung di Nganjuk, Jawa Timur. Pak Tukirin harus mendekam dalam tahanan lantaran diputuskan bersalah atas tuduhan, salah satunya, mencuri ilmu teknik penangkaran benih jagung dari PT. BISI. Meskipun yang bisa dibuktikan oleh pengadilan adalah penyebarluasan benih jagung tak bersertifikat, yang dalam pasal 61 (1) undang-undang No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dianggap sebagai pelanggaran.

PT. BISI ini adalah perusahaan agribisnis, biokimia dan bioteknologi multinasional, bidang usahanya meliputi hampir semua bidang agrobisnis dan bioteknologi. Mulai dari menjual benih tanaman (pangan dan hortikultura) sampai pestisida dan pupuk kimia. Salah satu sayap usahanya adalah menjadi produsen benih jagung. Benih jagung cap Kapal Terbang adalah salah satu produknya, dengan varitas, antara lain, BISI-12, BISI-16, BISI-Arjuna, SweetBoy. Dari iklan-iklan di televisi populer dengan sebutan jagung dua tongkol. Cap ini menguasai pasar benih jagung di Indonesia. PT. BISI ini tabiatnya mengikuti kelaziman korporasi agrobisnis dan bioteknologi: mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dari hak paten dan hak kekayaan intelektual. Mereka mendapatkan hak istimewa atas sederet penemuan. Korporasi-korporasi ini mengeruk keuntungan dari hak istimewa paten tersebut melalui hak monopoli atas ‘temuannya’. Hanya mereka yang boleh memproduksi dan menjual apa yang mereka klaim sebagai ‘temuannya’.

Pak Tukirin dituduh lalu dituntut oleh PT. BISI, karena menangkarkan benih jagung yang diklaim oleh PT. BISI sebagai benih induk miliknya. Berdalih di belakang hak paten. Perusahaan-perusahaan biotek dan agobisnis besar semacam PT. BISI ini mematenkan banyak varitas tanaman lalu menjualnya, alasannya untuk menjamin hak kekayaan intelektual yang akan memajukan inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian.

Di tahun 1994, PT. BISI mengadakan kerjasama dengan PEMDA Nganjuk untuk mengembangkan benih jagung. Petani diajak terlibat. Salah satunya Pak Tukirin. Tak jelas bagi Pak Tukirin dan kawan-kawannya apa tujuan proyek tersebut, tidak ada perjanjian atau kontrak apapun. Petani hanya tahu mereka akan mendapatkan pelatihan menangkarkan benih jagung. PT. BISI, katanya, menyediakan benih jantan. Pak Tukirin dan kawan-kawan diajari teknik penangkaran benih ala PT. BISI lalu menangkarkan benih di lahan mereka. Benih jagung hasil penangkaran Pak Tukirin dan kawan-kawannya dibeli lalu dipasarkan oleh PT. BISI. Tahun 1998 proyeknya berakhir.

Sejak tahun 2003 Pak Tukirin mempratikkan keahlian yang diperolehnya dari proyek tersebut. Menanam jagung kemudian memilih dengan seksama biji-biji mana yang bisa menjadi benih. Lalu menanamnya dengan teknik seperti yang sudah dipelajarinya. Terus dilakukan sepeti itu, ditanam, dipilih dengan seksama, dipisahkan, lalu biji terbaik ditanam lagi. Sampai akhirnya Pak Tukirin mendapatkan biji yang dianggapnya telah menjadi benih terbaik.

Pak Tukirin akhirnya menjadi petani penangkar benih jagung. Dia lalu menyebarkan dan menjual benih hasil penangkarannya kepada teman-teman dan tetangganya, hanya seharga 6000 rupiah. Dibandingkan harga benih dari PT. BISI yang harganya 26,000 – 30,000 rupiah. Tentu saja tetangga dan teman-teman Pak Tukirin senang dan lebih memilih membeli dan menanam benih dari Pak Tukirin ketimbang membeli benih PT. BISI yang harganya sampai lima kali lipat lebih mahal.

Tahun 2005, bulan Oktober, polisi menangkap Pak Tukirin. Lalu dibawa ke pengadilan. Dituduh mencuri benih induk PT. BISI, meniru teknik penangkaran benih, dan menjual benih tak bersertifikat. Semuanya disangkal Pak Tukirin. Tapi akhirnya tetap dipenjara juga. Hakim menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara.

Banyak lagi kasus lain dimana-mana, perusahaan multinasional dengan perisai hak paten memerangi petani dan masyarakat demi keuntungan. Tidak hanya di negara-negara miskin tapi di negara maju sekalipun. Monsanto vs petani Kanada, perusahaan farmasi raksasa melawan penderita AIDS di Nigeria, atau Google melawan para hacker Cina.

Mereka berargumentasi bahwa dengan memberi hak istimewa atas paten, akan memajukan kegiatan-kegiatan penelitian dan ilmu pengetahuan, memastikan inovasi dan penemuan yang akan memberi manfaat bagi hajat hidup orang banyak. Mereka khawatir kalau tidak ada hak paten orang-orang atau perusahaan-perusahaan akan loyo dalam mengembangkan penelitian. Akibatnya tidak akan ada inovasi dan penemuan.

Mungkin juga ini salah satu cara yang digunakan oleh korporasi-korporasi multinasional untuk menghalang-halangi perkembangan dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke negara-negara berkembang. Dengan begitu monopoli bisa tetap berada di tangan mereka. Melalui hak istimewa paten transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju yang telah lebih dulu mencuri start, sejak zaman penemuan dan penaklukan benua-benua baru (sembari mengeksploitasi), bisa dihalangi.

Padahal, saat negara-negara maju ini masih sama-sama ‘bayi’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka juga saling mencuri. Tak peduli dengan hak paten. Misalnya Swiss lewat undang-undang paten tahun 1888-nya dengan sengaja tidak memasukkan klausul paten untuk penemuan di bidang kimia, karena waktu itu Swiss banyak mencuri ide penemuan bidang kimia dari Jerman. Atau undang-undang paten Belanda yang dihapuskan pada tahun 1869, lalu diikuti perusahaan Belanda ‘Philips’ (perusahaan bola lampu yang sangat populer sekarang) memproduksi bola lampu berdasarkan ide pinjaman dari penemu bola lampu Amerika, Thomas Edison. Perancis pada tahun 1700an banyak membajak teknisi-teknisi dari Inggris untuk mencuri idenya, bahkan mempekerjakan seorang mata-mata untuk mencuri ide-ide teknologi dari Inggris. Dan banyak ide-ide dari Inggris yang dicuri oleh Amerika.

Nah mungkin dari pengalaman mereka dahulu itu, mereka bermaksud menghalang-halangi (melalui Trade-Related Intellectual Property Rights [TRIPS] besutan World Trade Organization [WTO], Organisasi Perdagangan Dunia), menyeberangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ke negara-negara miskin. Agar tetap miskin dan tidak maju-maju, lalu bisa tetap menjadi penyedia bahan baku industri mereka, sekaligus terus menjadi pasar produk-produk yang hanya bisa dibuat oleh negara-negara maju ini. Ambil contoh, bahan baku makanan coklat yang biji kakaonya ditanam di Sulawesi, dicuri oleh Hernan Cortez yang berkebangsaan Spanyol, dari suku Astec, Mexico, lalu dibawa ke Eropa tahun 1500 an, di Nusantara pertama kali ditanam di Minahasa tahun 1560, juga oleh bangsa Spanyol. Biji kakao dari Sulawesi kini diekspor ke Eropa. Kemudian kembali lagi ke Indonesia dalam bentuk makanan ‘coklat jadi’ bergengsi seperti es krim cap Walls, coklat cap Van Houten (dipinjam dari nama penemu mesin pengekstrak biji kakao), coklat cap Delfi, coklat cap Tobleron, dan produk-produk kosmetik seperti lipstik yang berharga mahal. Orang Indonesia senang makan coklat, karena gizi dan gengsi, tapi belum benar-benar paham membuat makanan coklat sekelas cap-cap tersebut, maka jadilah hanya sebagai pasar potensial untuk produk-produk tersebut.

Kembali ke rezim paten. Korporasi-korporasi ini lupa atau acuh bahwa, misalnya untuk benih, para petani sudah melakukan penelitian sejak dahulu beratus-ratus bahkan sudah beribu-ribu tahun sebelumnya. Benih ‘temuan baru’ mereka itu ada berkat ketekunan para petani-petani yang sebelumnya terus menanam dan memuliakannya. Kalau toh mereka ‘menemukan’ varitas baru, pasti asalnya dari varitas yang sudah ada, tidak mereka ‘temukan’ atau jatuh dari langit dan langsung ada di laboratorium-laboratorium mereka. Hasil persilangan benih yang mereka klaim menjadi varitas baru ‘temuan’ mereka pastilah disilangkan dari varitas yang sudah ada yang dimuliakan dan ditangkarkan serta terus ditanam oleh petani-petani dengan tekun bertahun-tahun bahkan berabad-abad sebelumnya.

Selain itu ada juga banyak perorangan dengan dedikasi dan integritas yang tinggi terus melakukan inovasi dan pengembangan penelitian dan ilmu pengetahuan. Menciptakan barang-barang inovatif yang fungsional. Mereka tidak termotivasi mengeruk keuntungan dari hak istimewa monopoli atas hak paten. Jadi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, inovasi, dan penemuan-penemuan bukan melulu oleh perusahaan-perusahaan besar, dengan investasi besar, pendukung rezim paten.

Bahkan di Amerika Serikat, negeri paling otoriter dalam hal rezim paten, di tahun 2000, tidak semua temuan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan investasi besar. Hanya ada 43 persen penemuan dan inovasi yang dilakukan oleh perusahaan besar industri farmasi. Sisanya, lembaga pemerintah (29 %) dan universitas-universitas serta perorangan (28 %).

***

PADA musim tanam Januari 2010, Ambo Rappe ditimpa kemalangan. Ia kehabisan benih untuk menanami sawahnya. Tetapi Ambo Rappe masih ingat, dia pernah mendengar, Papa Tande dan kawan-kawan menanam bibitnya satu bibit dalam satu lubang tanam. Ia lalu menanami sawahnya yang tidak dapat jatah dengan sisa-sisa bibit yang ia miliki. Sisa bibitnya 4 ikat, sementara biasanya Ambo Rappe butuh 9 ikat bibit. Dengan meniru teknik a’lamung tasse’re-se’re atau SRI Ambo Rappe tetap bisa menanami sawahnya dengan sisa-sisa bibitnya. Hasilnya cukup memuaskan. Biasanya ia memanen 4 karung dari 9 ikat bibit, kini menjadi 4 karung lebih sedikit, dengan bibit hanya 4 ikat. Sayangnya Ambo Rappe tidak menghitung dengan seksama berapa perbedaan hasil panennya.

Beruntung Ambo Rappe hanya berurusan dengan sesamanya petani Bulu-Bulu, yang tak peduli dengan hak paten. Bagi mereka, yang penting sesama petani bisa sedikit lebih beruntung, sudah cukup menyenangkan dan membahagiakan. Bagi petani Bulu-Bulu, tanah, air, benih, dan apapun yang ada di alam ini bukan milik siapa-siapa. Hanya titipan Tuhan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Ambo Rappe beruntung hanya berurusan dengan sesama petani Bulu-Bulu yang masih sederhana dan bersahaja. Tidak serakah!

::Gadis Hijau Dusun; Bermata Gurun::

Karno B. Batiran

gadis hijau dusun; bermata gurun
ah berhenti tersenyum
gadis hijau dusun; bemata gurun
jangan membohongiku;
senyumku pasti tak semanis senyummu
gadis hijau dusun; bermata gurun
ya aku tahu rumahmu; di sudut jalan kampung
sebelah batu gunung bambu berumpun
gadis hijau dusun; bermata gurun
musim panen lalu; kuamati engkau diam-diam
di pematang bercaping berkerudung
gadis hijau dusun; bermata gurun
aku terkurung
gedung-gedung
bawa aku pulang
kembali ke dusun

Friday, July 22, 2011

::Ceritanya Orang Tompu (Ziarah ke Tanah Suci)::

Ceritanya Orang Tompu (Ziarah ke Tanah Suci)


Karno B. Batiran


Tanah Suci

“Tanah dan hutan bagi masyarakat adat yang mendiami hutan dan gunung di Sulawesi Tengah adalah tanah suci”, jelas Hedar Laudjeng, lelaki umur 40-an, berambut ikal panjang, dikuncir sebagian besar sudah memutih, anggota Dewan Kehutanan Nasional dan aktifis Perkumpulan Bantaya, Ornop yang aktif mendampingi dan mengadvokasi masyarakat adat di Sulawesi Tengah.

“Sama seperti Yerusalem yah? bagi penganut Yahudi, Nasrani dan Islam, bedanya, para pemeluk tiga agama langit ini berperang dan saling berebut tanah suci”, Saya menimpali dengan pertanyaan.

“orang-orang Sulawesi Tengah memiliki Tanah Suci masing-masing, gunung dan hutan adat mereka adalah Tanah Sucinya dan mereka tidak perlu berebut”, jelasnya lagi.

Lalu apa yang terjadi saat ada yang datang akan “merebut” tanah sucinya

Ceritanya sama dimana-mana, proyek kehutanan pemerintah selalu datang semena-mena, terserah apa namanya, mau Hutan Lindung, mau Taman Nasional, mau Taman Hutan Raya (TAHURA) tetap saja tidak memandang manusia sebagai bagian dari hutan.

Dan bagaimana pula kira-kira jadinya di daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan dan sebagian penduduknya hidup dalam hutan? Seperti Sulawesi Tengah. Tahun 2007 Sekitar 4.394.932 ha wilayah sulawesi tengah adalah kawasan hutan, atau 65 % dari luas daratan Sulawesi Tengah, 6.803.300 ha, (data Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah). Hutan-hutan tersebut sebagain besar tentu saja adalah tanah ulayat bagi manusia penghuninya.

Di Provinsi Sulawesi Tengah juga dari hasil identifikasi Desa di dalam dan Sekitar Kawasan Hutan yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Kehutanan tercatat 57 % desa administratif masuk dalam kawasan dan sekitar kawasan dengan berbagi jenis dan kategori. 962 desa - 58 desa di dalam kawasan dan 666 desa di tepi kawasan- dari 1.686 desa (2008). Jumlah yang tidak sedikit. Sementara penduduknya sendiri sekitar 33 % bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan. Jumlah ini hanya kalah oleh Propinsi Papua.

Sejak dulu tidak jarang terdengar terjadi konflik agraria di Sulawesi Tengah yang membenturkan masyarakat adat penghuni hutan dengan pemerintah sebagai ‘pemegang otoritas’ atas hutan (Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan atau Balai Taman nasional). Hampir semuanya dipicu oleh penetapan tapal batas kawasan hutan semaunya. Tidak jarang proyek kehutanan pemerintah mengusir orang pedalaman/masyarakat adat (seringkali mereka sebut masyarakat tertinggal) yang menjadi penduduk asli gunung dan hutan sejak beratus-ratus tahun. Penyebab pengusirannya karena daerah mereka diambil kemudian dimasukkan dalam proyek-proyek kehutanan pemerintah.

Tidak sedikit dari hutan mereka tersebut diserahkan pada perusahaan-perusahaan tambang & perkebunan (kelapa sawit, emas, dan mineral lainnya) sebagai wilayah konsesi.


Ngata Tompu

Hujan bulan Nopember yang baru saja mengguyur deras tak cukup menyejukkan udara gerah kota Palu. Berangkat dari markas Perkumpulan Bantaya kami berkonvoi di bawah terik matahari yang gerah sehabis hujan deras dengan 6 sepeda motor. Saya menumpang di salah satu dari 3 sepeda motor ojek yang kami sewa. Saya diikutkan dalam rombongan teman-teman dari Perkumpulan Bantaya yang akan membuat film dokumenter Ngata Tompu.

Ngata (dalam bahasa kaili = Kampung) Tompu secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten Donggala. Dahulu, pada tahun 1970 an, Tompu adalah satu desa administratif, dinamai desa Tompu, sebelum mereka “diusir” dan “dipaksa” meninggalkan desanya untuk direlokasi ke tempat lain karena wilayahnya masuk dalam tapal batas hutan lindung. Sekembali dari proyek relokasi dimana mereka ramai-ramai lari kembali ke Tompu, desa Tompu sudah hilang. Dihapus secara administratif. Dilebur ke dalam dua desa, desa Loru dan Ngata Baru, yang bagi orang Tompu secara sosial, budaya dan kosmologis tidak ada keterikatan.

Ngata tompu berada di pegunungan bagian timur Lembah Palu. Jarak ngata Tompu dari kota palu sebenarnya tidak bisa dibilang jauh, mungkin hanya kisaran 18 km lebih kurang. Namun medan yang berat yang membuat ngata sulit dijangkau. Jalan ke ngata Tompu hanya bisa dilalui sepeda motor dengan kodisi jalan yang hanya setapak sempit, berbelok-belok, dengan tebing-tebing disamping kiri-kanan jalan, becek saat diguyur hujan. Kondisi jalan yang seperti itu pulalah yang membuat waktu tempuh lebih lama daripada jauh jaraknya.

Jalan mulus beraspal hanya sampai di desa Ngata Baru yang berada di kaki bukit, untuk sampai di ujung jalan ini hanya memerlukan waktu tempuh kurang dari 20 menit dari Kota Palu. Untuk melanjutkan perjalanan hanya bisa dengan berjalan kaki atau naik motor, itupun kalau cukup punya nyali mengendarai sepeda motor di jalan setapak sempit, sebagian berbatu-batu cadas dan samping kiri-kanannya tebing, dan siap ban sepeda motornya slip kiri-kanan saat jalan habis diguyur hujan. Hanya ada beberapa ojek nekat yang mau disewa sampai Tompu.


“Pengusiran”

Awal cerita dimulai pada tahun 70-an (orang-orang tua Tompu hampir tidak ada yang bisa dengan jelas menyebutkan tahun pastinya) sekitar kurang lebih seribuan jiwa yang bermukim dalam “hutan” di wilayah pegunungan bagian timur kota palu itu. Kampung tersebut terdiri dari beberapa pemukiman yang tersebar tak beraturan di puncak-puncak bukit dan gunung. Seperti laiknya masyarakat adat yang tinggal dalam hutan dan diatas gunung mereka hidup dengan berladang. Yah tentu saja berladang berpindah-pindah, parktik inilah yang seringkali jadi alasan untuk mengusir mereka, padahal mereka justeru telah tinggal disana dengan praktik tersebut beratus-ratus tahun mungkin setua hutan dan gunungnya.

Karena desa mereka kemudian dimasukkan dalam kawasan Hutan Lindung mereka lalu harus dielokasi, tepatnya diusir dari tanah mereka. Mereka direlokasi di beberapa tempat yang terpisah-pisah. Terpencar di beberapa tempat sekitar palu, parigi dan donggala. Komunitas besar mereka dipisahkan-pisahkan menjadi kelompok-kelompok kecil. Proses relokasi tersebut cukup sukses dari hampir 500 an keluarga tersisa hanya tidak lebih dari 10 keluarga yang ngotot tetap tinggal.

Di tempat baru mereka ‘dipaksa’ menjadi petani padi sawah, tentu saja mereka asing, dan tidak terampil. Di Tompu mereka bercocok tanam padi ladang yang umurnya enam bulan. Padinya ditanam di atas tebing miring tanpa harus digenangi air. Habis ditanam bisa ditinggal begitu saja tak perlu dirondai sepanjang waktu. Di tempat baru praktik bercocok tanam mereka harus disesuaikan, menanam padi sawah yang digenangi air dan harus dijaga setiap waktu agar tak kekurangan air, menyita waktu mereka. Hasilnya? Orang tompu tidak cocok cara seperti itu!

Kemudian di awal tahun 80-an, satu persatu mereka kembali ke tompu, sebagian besar karena kerinduan dan keterikatan terhadap tanah. Juga pada pandangan kosmologis orang tompu (dan sebagian besar masyarakat adat di Sulawesi tengah) tentang alam dan asal usul manusia. Orang Tompu memiliki kepercayaan bahwa asal-usul manusia adalah di tanah Tompu (di kalinjo, salah satu perkampungan di Tompu) itulah sebabnya mereka akan selalu kembali ke Tompu, kemanapun mereka pergi. Ada akhirnya mereka lari kembali ke Tompu dari berbagai tempat relokasi mereka.


Tompu dan Keanekaragaman Hayati

Tentu saja orang Tompu tidak pernah secara sadar telah menyumbangkan jasa terhadap pelestarian plasma nutfah. Dalam praktik dan laku sehari-hari orang Tompu, ternyata mereka telah berkontribusi besar dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Dahulu di ngata Tompu terdapat sekian puluh jenis padi ladang lokal yang terus menerus ditanam. Sebagian diantaranya ditanam karena secara budaya jenis padi tersebut sangat penting artinya dalam adat-istiadat orang Tompu. Misalnya jenis padi yang mereka beri nama topembangun, jenis padi ini terus ditanam karena perannya yang sangat penting. Dalam setiap ritual membangun rumah topembangun diharuskan ada sebagai bagian ritual, ritual acara mendirikan rumah tidak jadi diadakan kalau topembangun tidak hadir. Itulah makanya jenis padi ini harus selalu ditanam. Dan beberapa jenis padi ladang lokal lainnya, yang memiliki peran masing-masing dalam adat istiadat orang Tompu. Namun belakangan setelah pengusiran tersebut, hanya tersisa beberapa jenis padi ladang lokal saja saat ini di Tompu, salah satunya topembangun. Dan sekitar kurang sepuluh rumah tangga yang ngotot tetap tinggal itulah yang terus menanam jenis-jenis padi ladang lokal tersebut, selama sebagian besar orang Tompu dalam ‘pengusiran’.


Kriminalisasi Masyarakat Adat

Ada kenyataan selama ini terjadi yang menimpa masyarakat adat, “kriminalisasi” masyarakat adat yang menghuni hutan dan sekitar kawasan hutan. Mereka dituding dan difitnah menjadi pelaku utama deforestrasi.

Secara dramatis telah terjadi pengurangan luas kawasan hutan (berbagai kategori) di Sulawesi Tengah.

Hutan Alam saat ini tersisa 531,906 ha dari 676,248 ha sebelumnya. Dari 1,489,923 ha luas Hutan Lindung, kini hanya 1,243,650 ha. Sementara luas jenis hutan lain yang memang untuk tujuan ekonomi juga mengalami penurunan:, Hutan Produksi terbatas sebelumnya seluas 1,476,316 ha kini menjadi 1,349,640 ha, Hutan Produksi berkurang hampir setengahnya menjadi 273.986 ha yang dulunya seluas 500,589 ha. Sementara Hutan Produksi Konversi berkurang dari 251-865 hektar menjadi hanya 162,446 ha (Data Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah).

Laju deforestrasi yang sangat cepat itu (menurut Walhi Sulawesi Tengah 18,8 ha hutan rusak setiap jamnya) yang menjadi salah satu pokok ‘tuduhan’ terhadap masyarakat adat. Padahal masih menurut catatan Walhi Sulawesi Tengah, 61,55 % wilayah Sulawesi Tengah dikuasai investor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, sebagian besar diantaranya dulunya adalah hutan.


Deforestrasi? Bukan Mereka!: Menguatkan Kembali Keberadaan Masyarakat Adat

Orang Tompu, seperti halnya dengan suku-suku lain di pedalaman Sulteng memiliki mitologi yang hampir sama bahwa asal-usul mereka adalah dari tanah mereka. Mereka memandang bahwa dari sanalah semua manusia berasal termasuk padi yang menjadi jelmaan manusia. Orang tompu memandang asal-usul manusia dari tanah Tompu, orang Lindu memandang asal-usul manusia dari dasar danau Lindu. Karena itulah mengapa suku-suku di Sulawesi tengah memiliki tanah suci sendiri, sehingga tidak perlu berebut tanah suci seperti yerusalem yang selalu diperebutkan oleh tiga agama langit.

Pada akhirnya sebenarnya dan pada kenyataannya justeru mereka bisa menunjukkan bahwa melalui kearifan tradisional yang menurun dari pandangan kosmologis tersebut dan diwariskan turun temurun, alam, hutan, air, tanah, tetap bisa lestari, terjaga. Seperti yang dipraktekkan oleh Orang Tompu dan mereka yang hidup dalam dan sekitar, misalnya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Orang Katu, Orang Toro, Orang Marena, Orang Pekurehua, Orang Pakawa, juga misalnya Orang Wana di sekitar kawasan Cagar Alam Morowali. Kerusakan Hutan? Bukan mereka! [KBB]

Wednesday, July 20, 2011

:From Montreal 1987– Kyoto 1998– Bali 2008 – Copenhagen 2009 – To Mexico City 2010:Combating the Challenge of Global Climate Change or Maintaining the

::From Montreal 1987– Kyoto 1998– Bali 2008 – Copenhagen 2009 – To Mexico City 2010:Combating the Challenge of Global Climate Change or Maintaining the Global Economic Regime::

Karno B. Batiran

Prolog

With less optimistic voice the U.N. secretary Ban Ki-moon announced, at the last session of the 15th Copenhagen (Cop15) United Nation Climate Change Conference 2009, that the summit have reached the agreement. ‘Finally we sealed a deal’, He said. ‘The ‘Copenhagen Accord’ may not be everything everyone hoped for, but this … is important beginning.

Some moments before Obama, with also not very optimistic tone, announced that the ‘Copenhagen Accord’ have been sealed by the Ad-hoc working group of the countries or parties on the annex 1 of Kyoto protocol.

‘I think we should still strive towards something more binding than this but that was not achievable at this conference,’ Obama stated. ‘Kyoto was legally binding than this and people still fell short anyway.’ He concluded.

The Ad-hoc group including U.S., China, India, Brazil, and South Africa had been arrived to the agreement so called ‘Copenhagen Accord’ after marathon negotiation among the countries. It is a non-legally-binding accord which is weaker deal rather than the Kyoto protocol and likely only use as the diving -board to jump to the next summit in Mexico City, Mexico on November next year as scheduled. And seemingly just to resulting something after long run two weeks negotiation, to avoid to be considered as a failed summit.

The series of failures

The end of Kyoto protocol will be on 2012 and need to deal a new agreement for the global climate change issue. In the Kyoto protocol saying that the countries especially the developed countries are obligated to reduce the greenhouse gasses emission by 5 percent each year up to 2012 which meant by the year of 2012 the emission will be reduce up to 25 %. But the countries failed to do it, even worse the most pollutant developed country U.S. are not ratifying the protocol. That was the first failure.

After not fulfilling the obligation of reducing the emission and not ratifying the protocol then now come up the second failure is that the unwillingness of the developed countries to transfer the green technologies to the developing and under-developed countries for the adaptation and mitigation of the climate change, neither knowledge transfer nor financing the transfer process. The developed countries keep delaying that transfer process. That was the second failure. Delaying the technology transfer to the developing and under-developed country for adaptation and mitigation of climate change (clean and green industry), neither to fund nor to transfer because it will shift the economic pattern which has been dominated by the developed countries to the semi-peripheries and peripheries which is meaning also sharing wealth and fairness on economic global system.

Another issue is the transparency issue (Financial and the reporting and monitoring of the carbon dioxide emission) there is weak monitoring and reporting of the how the target of the emission will be really achieved and how to monitor if it will be really reduced by the countries. For example the suspicions of U.S. to China commitment to reduce the emission up to 40 %.

And the ultimate failure has been the loose non-legally-binding agreement under the ‘Copenhagen accord’. The agreement even weaker than the Kyoto protocol which has been failed to pushed the political will of the countries for the global climate change.

The content of the accord are: 1. the set of limiting the global warming up to 2 degrees Celsius. But it failed to mention how this would be reached, and 2. The prospect of hundred million dollars aid from 2020 for developing nations. And again it failed to specify where the money will come from and how the mechanism to use that money.

Is the failure to maintain the global economic regime?

It can be understood clearly and obviously that the U.S. want to maintain the global economic regime under the domination of the developed countries. Because if the Climate Change Conference arrive to the strong agreement and strong binding it will lead to the extreme shifting of the global economic pattern as the logic consequences of the agreement.

If the global is shifting based on the strong agreement combating global climate change (such as the obligation to shift to green industry); it will be affecting to the economic pattern of the world. There will be trillions of dollars wealth transfer, millions of jobs losses and gains, new taxes policy, huge industrial relocation and so on.

For example the shifting from the fossil fuel using will need a huge new investment on industry. It will bring negative impact to production process and even might cause a huge closing of many industries due to the inability to afford the new investment under the green industry framework.

Epilog

The next U.N. Climate Change Summit will be in Mexico by November next year. Will it be arriving at the strong agreement that can bring a significant change and action for combating the global climate change challenge or will it be just repeating such previous process from Kyoto – Bali – and Copenhagen?