Tuesday, July 26, 2011

::Ambo Rappe dan Rezim Paten: Apa Salahnya ‘Mencuri-curi’ Ilmu?::

Ambo Rappe dan Rezim Paten: Apa Salahnya ‘Mencuri-curi’ Ilmu?

Karno B. Batiran

DIA, Ambo Rappe (38), diam-diam mencuri-curi ilmu, yakni teknik tanam SRI, yang diterjemahkan ke dalam bahasa setempat oleh petani-petani Tompobulu dengan nama a’lamung tasserre’se’re (tanam satu-satu).

Tapi jangan resah dulu, kawan petani satu ini beruntung. Kasusnya tidak seperti kasus tragis teman petani kita Pak Tukirin, petani jagung di Nganjuk, Jawa Timur. Pak Tukirin harus mendekam dalam tahanan lantaran diputuskan bersalah atas tuduhan, salah satunya, mencuri ilmu teknik penangkaran benih jagung dari PT. BISI. Meskipun yang bisa dibuktikan oleh pengadilan adalah penyebarluasan benih jagung tak bersertifikat, yang dalam pasal 61 (1) undang-undang No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dianggap sebagai pelanggaran.

PT. BISI ini adalah perusahaan agribisnis, biokimia dan bioteknologi multinasional, bidang usahanya meliputi hampir semua bidang agrobisnis dan bioteknologi. Mulai dari menjual benih tanaman (pangan dan hortikultura) sampai pestisida dan pupuk kimia. Salah satu sayap usahanya adalah menjadi produsen benih jagung. Benih jagung cap Kapal Terbang adalah salah satu produknya, dengan varitas, antara lain, BISI-12, BISI-16, BISI-Arjuna, SweetBoy. Dari iklan-iklan di televisi populer dengan sebutan jagung dua tongkol. Cap ini menguasai pasar benih jagung di Indonesia. PT. BISI ini tabiatnya mengikuti kelaziman korporasi agrobisnis dan bioteknologi: mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dari hak paten dan hak kekayaan intelektual. Mereka mendapatkan hak istimewa atas sederet penemuan. Korporasi-korporasi ini mengeruk keuntungan dari hak istimewa paten tersebut melalui hak monopoli atas ‘temuannya’. Hanya mereka yang boleh memproduksi dan menjual apa yang mereka klaim sebagai ‘temuannya’.

Pak Tukirin dituduh lalu dituntut oleh PT. BISI, karena menangkarkan benih jagung yang diklaim oleh PT. BISI sebagai benih induk miliknya. Berdalih di belakang hak paten. Perusahaan-perusahaan biotek dan agobisnis besar semacam PT. BISI ini mematenkan banyak varitas tanaman lalu menjualnya, alasannya untuk menjamin hak kekayaan intelektual yang akan memajukan inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian.

Di tahun 1994, PT. BISI mengadakan kerjasama dengan PEMDA Nganjuk untuk mengembangkan benih jagung. Petani diajak terlibat. Salah satunya Pak Tukirin. Tak jelas bagi Pak Tukirin dan kawan-kawannya apa tujuan proyek tersebut, tidak ada perjanjian atau kontrak apapun. Petani hanya tahu mereka akan mendapatkan pelatihan menangkarkan benih jagung. PT. BISI, katanya, menyediakan benih jantan. Pak Tukirin dan kawan-kawan diajari teknik penangkaran benih ala PT. BISI lalu menangkarkan benih di lahan mereka. Benih jagung hasil penangkaran Pak Tukirin dan kawan-kawannya dibeli lalu dipasarkan oleh PT. BISI. Tahun 1998 proyeknya berakhir.

Sejak tahun 2003 Pak Tukirin mempratikkan keahlian yang diperolehnya dari proyek tersebut. Menanam jagung kemudian memilih dengan seksama biji-biji mana yang bisa menjadi benih. Lalu menanamnya dengan teknik seperti yang sudah dipelajarinya. Terus dilakukan sepeti itu, ditanam, dipilih dengan seksama, dipisahkan, lalu biji terbaik ditanam lagi. Sampai akhirnya Pak Tukirin mendapatkan biji yang dianggapnya telah menjadi benih terbaik.

Pak Tukirin akhirnya menjadi petani penangkar benih jagung. Dia lalu menyebarkan dan menjual benih hasil penangkarannya kepada teman-teman dan tetangganya, hanya seharga 6000 rupiah. Dibandingkan harga benih dari PT. BISI yang harganya 26,000 – 30,000 rupiah. Tentu saja tetangga dan teman-teman Pak Tukirin senang dan lebih memilih membeli dan menanam benih dari Pak Tukirin ketimbang membeli benih PT. BISI yang harganya sampai lima kali lipat lebih mahal.

Tahun 2005, bulan Oktober, polisi menangkap Pak Tukirin. Lalu dibawa ke pengadilan. Dituduh mencuri benih induk PT. BISI, meniru teknik penangkaran benih, dan menjual benih tak bersertifikat. Semuanya disangkal Pak Tukirin. Tapi akhirnya tetap dipenjara juga. Hakim menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara.

Banyak lagi kasus lain dimana-mana, perusahaan multinasional dengan perisai hak paten memerangi petani dan masyarakat demi keuntungan. Tidak hanya di negara-negara miskin tapi di negara maju sekalipun. Monsanto vs petani Kanada, perusahaan farmasi raksasa melawan penderita AIDS di Nigeria, atau Google melawan para hacker Cina.

Mereka berargumentasi bahwa dengan memberi hak istimewa atas paten, akan memajukan kegiatan-kegiatan penelitian dan ilmu pengetahuan, memastikan inovasi dan penemuan yang akan memberi manfaat bagi hajat hidup orang banyak. Mereka khawatir kalau tidak ada hak paten orang-orang atau perusahaan-perusahaan akan loyo dalam mengembangkan penelitian. Akibatnya tidak akan ada inovasi dan penemuan.

Mungkin juga ini salah satu cara yang digunakan oleh korporasi-korporasi multinasional untuk menghalang-halangi perkembangan dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke negara-negara berkembang. Dengan begitu monopoli bisa tetap berada di tangan mereka. Melalui hak istimewa paten transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju yang telah lebih dulu mencuri start, sejak zaman penemuan dan penaklukan benua-benua baru (sembari mengeksploitasi), bisa dihalangi.

Padahal, saat negara-negara maju ini masih sama-sama ‘bayi’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka juga saling mencuri. Tak peduli dengan hak paten. Misalnya Swiss lewat undang-undang paten tahun 1888-nya dengan sengaja tidak memasukkan klausul paten untuk penemuan di bidang kimia, karena waktu itu Swiss banyak mencuri ide penemuan bidang kimia dari Jerman. Atau undang-undang paten Belanda yang dihapuskan pada tahun 1869, lalu diikuti perusahaan Belanda ‘Philips’ (perusahaan bola lampu yang sangat populer sekarang) memproduksi bola lampu berdasarkan ide pinjaman dari penemu bola lampu Amerika, Thomas Edison. Perancis pada tahun 1700an banyak membajak teknisi-teknisi dari Inggris untuk mencuri idenya, bahkan mempekerjakan seorang mata-mata untuk mencuri ide-ide teknologi dari Inggris. Dan banyak ide-ide dari Inggris yang dicuri oleh Amerika.

Nah mungkin dari pengalaman mereka dahulu itu, mereka bermaksud menghalang-halangi (melalui Trade-Related Intellectual Property Rights [TRIPS] besutan World Trade Organization [WTO], Organisasi Perdagangan Dunia), menyeberangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ke negara-negara miskin. Agar tetap miskin dan tidak maju-maju, lalu bisa tetap menjadi penyedia bahan baku industri mereka, sekaligus terus menjadi pasar produk-produk yang hanya bisa dibuat oleh negara-negara maju ini. Ambil contoh, bahan baku makanan coklat yang biji kakaonya ditanam di Sulawesi, dicuri oleh Hernan Cortez yang berkebangsaan Spanyol, dari suku Astec, Mexico, lalu dibawa ke Eropa tahun 1500 an, di Nusantara pertama kali ditanam di Minahasa tahun 1560, juga oleh bangsa Spanyol. Biji kakao dari Sulawesi kini diekspor ke Eropa. Kemudian kembali lagi ke Indonesia dalam bentuk makanan ‘coklat jadi’ bergengsi seperti es krim cap Walls, coklat cap Van Houten (dipinjam dari nama penemu mesin pengekstrak biji kakao), coklat cap Delfi, coklat cap Tobleron, dan produk-produk kosmetik seperti lipstik yang berharga mahal. Orang Indonesia senang makan coklat, karena gizi dan gengsi, tapi belum benar-benar paham membuat makanan coklat sekelas cap-cap tersebut, maka jadilah hanya sebagai pasar potensial untuk produk-produk tersebut.

Kembali ke rezim paten. Korporasi-korporasi ini lupa atau acuh bahwa, misalnya untuk benih, para petani sudah melakukan penelitian sejak dahulu beratus-ratus bahkan sudah beribu-ribu tahun sebelumnya. Benih ‘temuan baru’ mereka itu ada berkat ketekunan para petani-petani yang sebelumnya terus menanam dan memuliakannya. Kalau toh mereka ‘menemukan’ varitas baru, pasti asalnya dari varitas yang sudah ada, tidak mereka ‘temukan’ atau jatuh dari langit dan langsung ada di laboratorium-laboratorium mereka. Hasil persilangan benih yang mereka klaim menjadi varitas baru ‘temuan’ mereka pastilah disilangkan dari varitas yang sudah ada yang dimuliakan dan ditangkarkan serta terus ditanam oleh petani-petani dengan tekun bertahun-tahun bahkan berabad-abad sebelumnya.

Selain itu ada juga banyak perorangan dengan dedikasi dan integritas yang tinggi terus melakukan inovasi dan pengembangan penelitian dan ilmu pengetahuan. Menciptakan barang-barang inovatif yang fungsional. Mereka tidak termotivasi mengeruk keuntungan dari hak istimewa monopoli atas hak paten. Jadi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, inovasi, dan penemuan-penemuan bukan melulu oleh perusahaan-perusahaan besar, dengan investasi besar, pendukung rezim paten.

Bahkan di Amerika Serikat, negeri paling otoriter dalam hal rezim paten, di tahun 2000, tidak semua temuan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan investasi besar. Hanya ada 43 persen penemuan dan inovasi yang dilakukan oleh perusahaan besar industri farmasi. Sisanya, lembaga pemerintah (29 %) dan universitas-universitas serta perorangan (28 %).

***

PADA musim tanam Januari 2010, Ambo Rappe ditimpa kemalangan. Ia kehabisan benih untuk menanami sawahnya. Tetapi Ambo Rappe masih ingat, dia pernah mendengar, Papa Tande dan kawan-kawan menanam bibitnya satu bibit dalam satu lubang tanam. Ia lalu menanami sawahnya yang tidak dapat jatah dengan sisa-sisa bibit yang ia miliki. Sisa bibitnya 4 ikat, sementara biasanya Ambo Rappe butuh 9 ikat bibit. Dengan meniru teknik a’lamung tasse’re-se’re atau SRI Ambo Rappe tetap bisa menanami sawahnya dengan sisa-sisa bibitnya. Hasilnya cukup memuaskan. Biasanya ia memanen 4 karung dari 9 ikat bibit, kini menjadi 4 karung lebih sedikit, dengan bibit hanya 4 ikat. Sayangnya Ambo Rappe tidak menghitung dengan seksama berapa perbedaan hasil panennya.

Beruntung Ambo Rappe hanya berurusan dengan sesamanya petani Bulu-Bulu, yang tak peduli dengan hak paten. Bagi mereka, yang penting sesama petani bisa sedikit lebih beruntung, sudah cukup menyenangkan dan membahagiakan. Bagi petani Bulu-Bulu, tanah, air, benih, dan apapun yang ada di alam ini bukan milik siapa-siapa. Hanya titipan Tuhan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Ambo Rappe beruntung hanya berurusan dengan sesama petani Bulu-Bulu yang masih sederhana dan bersahaja. Tidak serakah!

No comments: