Sunday, September 11, 2011

SYL Si ‘Gigantic Ego’ yang Megalomania

Karno B. Batiran

Cina mempromosikan wisatanya dengan membuat iklan menampilkan the Great Wall (Tembok Besar) Cina peninggalan peradaban agung dinasti-dinasti Cina, Malaysia berpromosi dengan tampilan cagar alam borneo yang indah, di Belanda reklame-reklame parawisata dengan gambar kincir-kincir anginya atau bunga-bunga tulip yang indah, sementara di Italia bangunan-bangunan tua dan bersejarah menjadi bahan iklannya, begitu juga di Negara-negara lain.

Nah ‘Visit South Sulawesi’, promosi parawisatanya memajang foto pak kumis Gubernur Syahrul Yasin Limpo, di puluhan atau mungkin bahkan ratusan papan-papan reklame sepanjang jalan, sampai di badan 100 unit taksi di Singapura.

Itu di darat, lah ternyata urusan di darat ini dibawa juga ke udara, fotonya dipajang juga di badan-badan pesawat. Yang aneh, biasanya promosi wisata menampilkan keunikan-keunikan, keeksotikan-keeksotikan dan keindahan-keindahan objek wisatanya, lah kalau kumis SYL yang dipajang, saya malah seram melihatnya.

Tapi okelah kita tidak akan menyoal hal tersebut, coba kita lebih jauh melihat apa sebenarnya yang diidap oleh gubernur kita ini, yang salah satu gejalanya adalah narsisme luar biasa, dengan memajang foto-foto dimana-mana dan perilaku-perilaku ‘menyimpang’ lainnya. Karena SYL adalah seorang pemimpin maka kita coba lihat dari sudut pandang kita melihatnya sebagai seorang pemimpin, seorang gubernur. Dan karena saya curiga SYL menyimpan gejala-gejala psikopatologis yang banyak di derita oleh para ‘pemimpin’ yang selalu dengan mudah terselip menjadi analog dengan ‘pemegang kekuasaan’.

‘MEGALOMANIA’ atau juga disebut ‘Waham Kebesaran’, yah gejala-gejalanya mungkin kesana.

***

Megalomania: Dalam ilmu kejiwaan, gejala-gejala atau ciri megalomania sering didapati atau ada pada para pemimpin, bisa dalam rupa pemikiran, perbuatan, dan keyakinannya. Cirinya bisa terwujud pada dorongan seseorang akan perasaan butuh terhadap keasyikan tertentu yang sifatnya irasional perasaan tersebut biasanya berhubungan dengan kemuliaan, kebesaran, ketenaran, berlebih atas diri sendiri, dalam bahasa jaman sekarang narsis kelewatan.

Pengertian tersebut diturunkan dari etimologi yang djika dirunut dari artinya megalomania berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu Megalo yang berarti sangat besar, termasyur, atau berlebih-lebihan, dan Mania yang berarti bentuk obsesi yang berlebihan terhadap sesuatu.

Megalomania merupakan perwujudan kondisi patologis dimana seseorang memiliki suatu bentuk fantasi terhadap kekuatan, kekayaan dan “kemaha-besaran” di dalam dirinya, hal ini terkadang disebabkan oleh obsesi mereka akan kebesaran dan kemuliaan dan ketenaran. Mungkin bisa juga dimasukkan perasaan cantik atau gagah sendiri yang berlebihan.

Megalomania bukanlah penyakit baru, sejak dunia diciptakan makhluk-makhluk yang merasa dirinya hebat selalu ada, kalau dalam cerita-cerita kitabiah, iblis adalah salah satunya, yang merasa lebih hebat dari nabi Adam sehingga tak mau tunduk pada perintah Tuhan untuk bersujud pada Adam. Iblis merasa lebih hebat dari Adam. Padahal dia tidak sehebat yang dia kira.

Kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran menjadi lingkungan yang sangat nyaman bagi tumbuhnya gejala-gejala megalomania, nah yang sangat dekat dengan hal-hal tersebut adalah pemimpin, makanya tidak heran jika kemudian megalomania menjadi ciri yang sering muncul pada seorang pemimpin.

Selain itu dorongan manusia untuk mengakumulasi ‘kebaikan’ sebagai sebuah bentuk prestasi, akan diperparah dengan perasaan tidak pernah puas dan ambisi yang tidak bisa dikendalikan. Itulah kemudian yang akan mendorong ke arah patologis megalomania, bila diakomodasi dan diikuti tanpa pertimbangan dan pengendalian diri yang baik. Dan akan semakin parah jika segala kondisi tersebut tumbuh dalam lingkungan yang ‘menggoda’, misalnya seorang pemimpin yang memiliki kesempatan dan kekuatan sosial dan politik.

Dalam kondisi tersebut seorang pemimpin akan dengan mudah menjelma menjadi individu dan pribadi yang memiliki ambisi besar yang bersifat berlebihan, yang bila berlarut-larut perlahan akan menjadi ‘ketidakmasukakalan’ sebagai manifestasi obsesi keberhasilan diri yang tak tercapai, didorong oleh harapan dan kepercayaan diri yang terlalu tinggi untuk mencapainya.

Dia kurang menimbang realitas dalam mencapai segala mimpi-mimpinya. Dunia realitas menjadi kurang penting ketimbang cita-cita kebesarannya, misalnya, apakah sumberdaya yang ada disekitarnya cukup mendukung untuk mencapai cita-citanya, atau apakah mimpinya tidak akan merugikan orang lain.

Megalomaniak secara berlebihan akan tetap mempertahankan keyakinannya walau telah terbukti bertolak belakang dengan kenyataan sekalipun, untuk tujuan memenuhi hasrat dan obsesinya.

Sigmund Freud bilang, perilaku-perilaku tersebut dikarenakan oleh sebuah narsisisme kedua yang ada pada diri seseorang yang mengidap ‘penyakit mental’, yang berbeda dengan narsisisme utama yang muncul pada bentuk narsistis umum, yang ini narsisnya narsis sakit karena salah-salah bisa ‘skizofrenia’, dengan jalan mendorong harapan dan impian dari belakang libido yang tidak sinkron dengan obyeknya di dunia nyata.

Narsisisme kedua ini menurut Freud berbentuk membesar-besarkan diri sendiri sebagai bentuk ekstrem narsisisme.

Nah dari penjelasan Freud tersebut bisa dilihat bahwa akar megalomania adalah narsistik yang sakit, di mana penderitanya memiliki keyakinan diri yang dibesar-besarkan, berbentuk waham dan diyakini sebagai harga mati.

Sikap anti-kritik walau jelas-jelas salah dan keliru, tetap ngotot dan percaya terhadap apa yang sudah jelas telah terbukti salah adalah gejala megalomania.

Hal ini terjadi karena keyakinan yang menganggap diri sempurna, sangat pintar, sangat cerdas, sangat jenius yang berlebihan dan tidak mungkin melakukan kesalahan.

Meskipun kecenderungan irrasionalitas adalah hal yang lumrah pada taraf tertentu, tapi bila keadaan ini melekat pada diri seseorang yang memiliki pengaruh dalam sosial-politik maka akan menimbulkan masalah yang besar.

Keputusan-keputusan dan tindak-tanduk pemimpin yang didasari pada ‘irasionalitas’ tentu saja hampir dipastikan tidak akan sampai pada tujuan; hanya dengan akal sehat yang mendasari keputusan-keputusan dan tindak tanduk yang bisa membawa pada kebaikan segenap orang yang dipimpinnya, yang mestinya menjadi tujuan utama.

Malapetaka adalah ujung yang dituju oleh pemimpin atau sebutlah pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang megalomania. Karena keputusan-keputusan dan tindak tanduknya didasari pada obesesi dan ambisi besar yang berlebihan tak terkendali atau megalomania. Dasarnya adalah ‘kesakitan’, ‘ketidakmasukakalan’ dan ‘kegilaan’ atau ‘kegandrungan pada sebuah keyakinan keliru’, yang tujuannya hanya pemenuhan hasrat kebesaran dan ketenaran. Tak memikirkan rakyat yang dipimpinnya, menutup telinga tak mau mendengar rakyat yang dipimpinnya, anti kritik, dan atau sama sekali mengabaikan realitas.

Megalomania bisa diderita oleh orang-orang biasa, yang tak punya kekuasaan. Tapi disini konteksnya pada gangguan megalomania yang diidap oleh sang pemimpin. Konteksnya gejala-gejala yang biasa melekat dalam diri seorang pemimpin. Seperti tidak rela kehilangan posisi, mempertahankan posisinya dengan cara apapun, anti-kritik, mementingkan diri dengan segala dalih yang dibuat-buatnya, yang ke semuanya akan menyebabkan ‘bencana’ bagi rakyat yang dipimpinnya.

‘Bencana’ ini dikarenakan kepemimpinan berada di atas pundak orang yang salah, orang yang ‘sakit’. Orang yang lebih mementingkan kemuliaan, kebesaran dan kekayaan diri ketimbang amanah yang diberikan padanya.

Bisa jadi awalnya rasional karena berhasil menemukan dalih pembenaran atas apa yang dilakukannya dengan dorongan ambisinya. Tapi sebenanrya lama-kelamaan dan jika ditilik lebih jauh tindak-tanduk dan perilakunya sebenarnya ‘irrasional’ dan ‘menyimpang’ dalam bentuk sederhananya. Misalnya apa yang dilakukan sebenarnya tidak akan pernah sampai pada tujuannya karena memang tidak nyambung sedari awal, bisa karena terlalu ambisius atau memang tidak terencana dengan baik untuk mencapai tujuannya.

***

Bagaimana dengan SYL?

Coba kita bedah dan iris-iris SYL dan tindak-tanduknya, program-program dan proyek-proyek mercusuarnya satu persatu:

Surplus beras 2 juta ton: ini adalah salah satu proyek kebanggaan SYL. Mencanangkan Sulsel akan surplus beras 2 juta ton pada tahun 2009 dan 2010. Berhasilkah? Pada pertengahan 2010 lalu, Kabupaten Wajo dilanda banjir besar, sekitar 6000 hektar sawah terendam banjir dan gagal total. Padahal Wajo adalah salah satu penyangga produksi beras untuk program Surplus beras 2 juta ton ini. Semestinya SYL sudah bisa memperkirakan bahwa dengan anomali cuaca belakang ini, hal tersebut hampir bisa dipastikan akan terjadi. Jadi alasan bencana alam tidak bisa disalahkan.

Fakta lain bahwa data surplus beras 2 juta ton itu tidak pernah akurat. Dari semua pihak yang saya wawancarai, mulai dari staf dinas pertanian, pengusaha penggilingan padi, penyuluh pertanian, sampai petani, tidak pernah ada yang yakin kalau surplus 2 juta ton bisa tercapai.

Dinas pertanian dan penyuluhnya mengakui bahwa itu hanya kalkulasi diatas meja. Karena distribusi beras sangat rumit. Tidak pernah ada data akurat berapa beras yang diserap oleh penggilingan, berapa yang diperdagangkan antar pulau, berapa yang disimpan oleh petani sebagai cadangan pangan.

Data produksi hanya dikalkulasi dari data luas lahan sawah dikali produktifitas dan dikurangi kehilangan-kehilangan pasca panen, yang kesemuanya kalkulasi diatas meja. Itupun dasar kalkulasi untuk tingkat produktifitas adalah, dalam kasus yang saya temukan, sawah yang menjadi lahan percontohan Dinas Pertanian, kemudian digeneralisasi sebagai sampel. Tentu saja produktifitasnya tinggi. Tapi bias. Data yang pasti hanya angka beras yang bisa diserap oleh bulog yang selalu berkisar hanya 10 % dari produksi beras.

Celakanya SYL terus berkoar-koar di media-media bahwa programnya ini akan berhasil. Dan sepertinya tidak mau melihat kenyataan yang ada. SYL menjadikan programnya ini sebagai propaganda kebijakan politik-ekonomi pangan. Terus menghembuskan takhayul dan ilusi kesejahteraan petani. Meskipun tampaknya masuk akal. Tapi tetap saja ambisius!

Gambar wajah di spanduk, papan reklame, Branding 100 taksi di singapura, Branding pesawat: Biasanya promosi wisata pajangan yang menjadi bahan promosi adalah objek-objek wisatanya. Alamnya yang indah, situs-situs bersejarah, budaya yang unik, dan obyek-obyek wisata yang menarik perhatian. Lah kalau wajah SYL? Apalagi kalau bukan narsisme luar biasa!

Center Point of Indonesia: di CPI akan dibangun istana presiden yang berdiri diatas laut, Masjid termegah di Asia setelah Taj Mahal, The Makassar Nostradamus, Taman Seribu Patung Pahlawan Indonesia, Center Park (ruang publik terbesar di Indonesia), lapangan New Karebosi (diklaim menjadi lapangan terbuka terluas di dunia), pusat bisnis dan perkantoran, hotel transit, dan lapangan golf, 2 jalan layang selebar 40 meter panjang dua setengah kilometer, Waterway, Monorail dan Busway (menghubungkan ke pusat kota sampai ke bandara). Dilengkapi dengan sebuah menara menyerupai Oriental Pearl Tower Shanghai dengan fasilitas anjungan berputar. Akan diintegrasikan dengan Trans Studio Indoor Theme Park. Juga akan menghubungkan pulau-pulau buatan di sekitar CPI dengan gondola terpanjang di Asia. Akan dibangun di atas luasan 200 hektar.

Masya Allah!

Didasari oleh paham usang bahwa investasi akan membawa dampak luas bagi masyarakat, CPI ini dicanangkan. Tapi tidak pernah jelas bagaimana caranya investasi itu bisa mensejahterakan rakyat. Yang paling sering disebut adalah investasi akan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Padahal dari data statistik disebutkan bahwa lebih dari 80 persen tenaga kerja di dunia usaha justeru diserap oleh usaha kecil, mikro dan menengah. Selain itu data statistik juga menyebutkan lebih dari 50 persen tenaga kerja masih ada di sector pertanian. Sementara untuk usaha besar dengan investasi besar, hanya menyerap persentase jumlah tenaga kerja tidak lebih dari satu digit. Kira-kira dengan desain proyeknya itu bagaimana akan mensejahterakan masyarakat menengah ke bawah, yang menjadi rakyat mayoritas?

Masih banyak tindak-tanduk SYL yang lain, misalnya Baruga Sayang, Masjid-masjid Nurul Yasin, benih jagung yang varietasnya diberi nama SYL dan SAYANG (tag line kampanyenya), Di youtube pun kita juga bisa menemukan klip lagu gubernur kita ini menyanyi meskipun dengan suara yang sangat pas-pasan kalau tidak mau bilang suara memprihatinkan.

Tapi sudahlah kita berhenti saja disini. Mega proyek CPI ini saja sudah menjelaskan semuanya. Dan sudah cukup membuat kita angkat tangan, dan bilang ampunma!

Oh ya dan satu lagi

Benteng Somba opu: Yang paling baru yang menunjukkan gejala megalomania SYL, proyek wahana rekreasi di atas situs bersejarah dan peninggalan kebesaran kerajaan Gowa. Meskipun ramai-ramai diprotes oleh banyak masyarakat tetap saja Gubernur kita yang memiliki gigantic ego dan megalomania ini bergeming. Hanya mau melihat fakta dan kenyataan yang dibuatnya sendiri. Padahal sudah banyak pihak yang membentangkan fakta-fakta, dan pertimbangan-pertimbangan kepadanya.

Bahwa proyek membangun Wahana Rekreasi Gowa Discovery park (GDP) tersebut harus jauh dari Benteng Somba Opu, karena akan membawa dampak buruk, yang paling buruk mungkin, menurut saya, adalah manfaat ilmiah dari BSO akan hilang ditimbun kotoran gajah dan kotoran burung dari taman gajah dan taman burung Wahana Rekreasi GDP, jika jadi dibangun, dimanapun di sekitar BSO. Selain itu BSO tidak akan bisa lagi menjadi ruang publik yang bisa diakses oleh semua kalangan, miskin, setengah miskin, kaya atau kaya sekali! Kalau tetap jadi dibangun dimanapun di sekitar BSO berarti SYL memang anti kritik!

***

Namun jika SYL mau coba sedikit bercermin dan mau sedikit mengubah gigantic ego nya menjadi wise ego dengan sedikit mendengar masyarakat, orang-orang yang dipimpinnya; saya tidak akan heran kalau masyarakat Sulawesi Selatan akan benar-benar ‘SAYANG’ kepadanya bukan sekedar ‘SAYANG’ yang banyak digunakan menjadi akronim program-program pemerintahnya.

Kalau tidak, kita harus percaya bahwa masyarakat Sulawesi Selatan pasti akan menghukumnya, dengan tidak memilihnya di pilkada, kalau masih percaya diri untuk jadi calon gubernur. Bagi saya sendiri untuk pertama kalinya akan berpartisipasi untuk ikut memilih, dan akan memilih selain SYL, kalau misalnya ada kotak kosong pasti memilih kotak kosong. Berubahlah Pak! masih ada waktu!

SYL Doktor yang Konyor

Karno B. Batiran

Dulu saya pernah punya teman orang Jepang. Setiap kali merasa tidak suka dengan tingkah laku seseorang dia selalu menyebut kata ‘konyor’ dengan nada jengkel. Ternyata yang dia mau bilang adalah kata ‘konyol’.

Nah gubernur Sulawesi Selatan kita ini, Syahrul Yasin Limpo, SYL, orangnya lucu & konyor. Padahal gelarnya doktor.

Masa SYL bilang begini:

“Salah satu indikator kemakmuran rakyat Sulsel adalah kenaikan jumlah kendaraan bermotor, yaitu dari 760.000 unit pada 2006 meningkat mencapai 1,3 juta unit di akhir 2009”.

Belum pernah saya mendengar sebelumnya kalau kesejahteraan masyarakat itu dilihat dari jumlah kendaraan bermotor. Saya memeriksa literatur-literatur tentang pembangunan, tidak ada yang menyebutkan tentang jumlah kendaraan bermotor. Dari indikator-indikator yang disusun oleh UNDP-United Nation Development Program (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa), World Bank (Bank Dunia), sampai indikator yang dibuat oleh pemerintah sendiri melalui BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) juga Badan Pusat Statistik (BPS).

Saya periksa sekali lagi untuk meyakinkan jangan-jangan memang salah satu indikator kesejahteraan adalah jumlah kendaraan bermotor di jalanan. Tapi tidak saya temukan. Indikator yang ada biasanya adalah misalnya: Income (pendapatan), expenditure (pengeluaran) Usia hidup (longevity) diukur dengan angka harapan hidup waktu lahir, Pengetahuan/pendidikan (knowledge) diukur dengan angka melek huruf (literacy rate) penduduk dan rata-rata lama sekolah (mean years of schooling), dan Standar hidup layak (decent living) di ukur dengan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan” (adjusted real percapita expenditure), dan indikator-indikator lainnya.

Okelah kita anggap serius saja pernyataan konyor SYL tersebut (siapa tahu dia pernah mempelajari itu waktu kuliah dulu), tapi coba kita periksa data jumlah kendaraan berikut:

Jumlah kendaraan Sulawesi Selatan 2009 (BPS)

Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar (digabung) hanya : 152.681 unit

Gowa: hanya 138.852 unit

Sinjai, Maros, Pangkep, Barru (digabung) hanya: 142.357 unit

Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap (digabung) hanya : 222.445 unit

Pinrang, Enrekang, Tanah Toraja, Toraja Utara, Luwu Raya (digabung) hanya: 199.934 unit

Kota Pare-Pare, Kota Palopo (digabung) hanya: hanya 60.986 unit

Nah Kota Makassar sendirian: jumlahnya sampai: 775.106 unit.

43 % (775.106 unit dari total 1.792.361) kendaraan bermotor di Sulawesi Selatan terdapat di Makassar, bahkan hampir sama banyaknya jika seluruh 23 kabupaten/kota lain digabungkan. Berarti Cuma Kota Makassar dong yang sejahtera kalau menurut pandangan SYL ini.

Padahal tentu saja komposisi penduduk Kota Makassar didominasi kelas menengah atau paling tidak bukan petani yang menjadi penduduk terbanyak provinsi Sulawesi Selatan.

Dari total 1.865.662 rumah tangga, sebanyak 1.138.202 adalah rumah tangga pertanian atau sekitar 61 % dari total rumah tangga di Sulawesi Selatan. Sementara berdasarkan sensus pertanian 2003 rumah tangga petani di Kota Makassar hanya 9.660 rumah tangga.

Lah kalau sudah begitu masyarakat mana yang dimaksud oleh SYL ini, yang dia sebut sudah sejahtera?

Selain itu sebenarnya pertumbuhan otomotif naik karena kelas menengah yang bertumbuh. Bukan rakyat kecil, rakyat dengan jumlah terbanyak. Pertumbuhan ini juga didukung oleh kredit konsumsi yang mencapai 15 triliyun rupiah tahun 2009 dan 16 triliyun rupiah tahun 2010 yang tentu saja lebih banyak diserap oleh kelompok masyarakat kelas menengah.

Bahkan untuk kredit Usaha Rakyat yang masuk dalam kredit modal kerja dan investasi banyak diserap oleh perdagangan bukan pertanian. Sekali-sekali SYL perlu diajak nih jalan-jalan ke kantor Adira atau kantor-kantor pembiayaan kredit kendaraan bermotor yang sekarang menjamur di Makassar dan dimana-mana di Sulawesi Selatan! Atau sekali-sekali ngobrol sama tukang ojek, yang motornya motor kreditan! Terus tanya-tanya uang muka buat kredit motor biasanya berapa!

Jadi klaim SYL bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebagai indikator kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan secara umum tentu saja, sekali lagi, KONYOR dan mengada-ada. Karena jumlah kendaraan bermotor yang paling banyak terdapat di Kota Makassar yang sebagian besar penduduknya adalah kelas menengah. Sementara di kabupaten-kabupaten lain yang sebagian besar rumah tangga pertanian, yang menjadi mayoritas penduduk Sulawesi Selatan, jumlah kendaraan jauh lebih kecil daripada kota Makassar.

SYL sih kebanyakan tinggal di kota, jarang ke desa-desa dan ke kampung-kampung. Makanya SYL selalu merasa sangat sesak dengan kendaraan bermotor di kota utamanya di Kota Makassar, lalu menginterpretasinya sebagai sebuah kemajuan masyarakat Sulawesi Selatan. Sebagai indikator kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan. Jalan-jalan dong ke desa, SYL! paling tidak sering-sering pulang ke Bontonompo! Biar tahu disana itu ada petani yang punya motor tapi masih makan garam dan pepaya asal tidak cuma makan nasi![KBB].